Tuesday, 26 April 2016

The Next Level

Nats : Pengkotbah 1 : 1 – 11

Ketika kita sedang dalam keadaan putus asa, kita terkadang berpikir apa yang kita lakukan semuanya sia-sia. Bahkan dalam posisi biasa pun kita terkadang mengalami kejenuhan sehingga muncul pikiran seperti itu.

Banyak orang merasa bosan karena dia terus-menerus mengulang hal yang sama dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, bahkan dari tahun ke tahun. Semuanya terus berulang dan berulang lagi.


Suatu kali saya menyaksikan seorang anak kecil yang begitu antusias kala belajar berhitung. Dia mulai menghitung dari angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10. Semakin dia salah menghitung, semakin antusias dia belajar. Tapi tak lama dia mulai bosan karena sudah menghafalnya terus-menerus. Apalagi kemudian dia merasa sudah bisa, jadi tak perlu mengulang lagi untuk menghitung.

Ada juga pengalaman seorang kawan yang baru saja mencicipi masakan Jepang. Karena dia suka dengan masakan itu, dia makan berulang-ulang. Tapi kemudian dia tak makan lagi, bosan katanya.

Begitu juga dengan keimanan orang Kristen seperti kita. Jujur, terkadang ada kebosanan menyeruak dalam hati kita. “Doa lagi, doa lagi! Ah, malas. Lagipula doa saya juga tak pernah dijawab,” begitu kan biasanya kita berpikir. Atau kita sering mengeluh, “Uh, kebaktian lagi, kebaktian lagi. Apa nggak ada acara lain?” Keluhan seperti ini memang wajar dalam kehidupan kita. Ini juga yang disoroti oleh Pengkotbah.

Penulis Pengkhotbah diperkirakan adalah Salomo, sang raja bijaksana dari Israel. Namun ada beberapa literatur dari para ahli Teologia yang menyatakan penulisnya belum tentu Salomo. Terlepas dari apakah penulisnya Salomo atau bukan, tapi kita harus menyakini bahwa penulis kitab Pengkotbah adalah anak Daud. Artinya dia adalah seorang pangeran, seorang anak raja.

Sebagai seorang anak raja, kita bisa bayangkan bahwa Pengkotbah pastilah dapat mencapai apa saja yang jadi keinginannya. Dia mau makan apa saja pasti ayahnya sanggup membelikan, dia mau perhiasan super mewah seperti apa, pasti dengan mudah dapat dia gapai. Atau dia mau kuda seperti apa, Daud pasti mengabulkan. Emas, perak, makanan atau apa saja yang dia mau bisa direngkuhnya dengan mudah. Tapi toh, dia tetap merasakan kebosanan. Makanya dia bilang semua sia-sia (lihat ayat 2).

Lalu bagaimana dengan kita sebagai anak-anak Tuhan? Bukankah kita juga sering merasa jenuh, sering merasa bĂȘte atau sering merasa galau karena kesia-siaan seperti yang dirasakan si penulis kitab ini. Kalau kita merasakan kebosanan dalam hidup, itu wajar-wajar saja. Selama kita hidup, pastilah kita merasakan bosan.

Anak saya sering bilang, dia bosan belajar. Saya cuma bilang selama masih sekolah, belajar adalah kewajiban tak ada istilah bosan. Kalau memang bosan, tinggalnya sudah tidak dalam lingkungan masyarakat yang hidup, tapi sudah di TPU Pondok Rangon atau TPU Tanah Kusir. Mengapa? Karena orang yang tinggal di sana tidak bosan lagi, buktinya mereka tak pernah minta pulang ke rumahnya.

Sebagai orang percaya kita memang harus menghadapi kebosanan itu sebagai sebuah tantangan. Sebab dengan demikian segala kebosanan yang kita hadapi akan membawa kita kepada posisi the next level, pada posisi yang lebih tinggi.
Coba bayangkan kalau kita main games, berbulan-bulan cuma level satu saja. Jelas nggak seru kan? Makanya kita terus berusaha untuk naik level, naik ke tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Itu namanya kita bisa berkembang.

Tadinya SD, naik jadi SMP. Setelah SMP naik jadi SMA, Perguruan Tinggi, dunia kerja dan sebagainya. Jadi jalani kebosanan itu menjadi motivasi agar bisa lewati. Seperti sebuah tutup botol yang berputar ke arah yang benar, begitulah seharusnya hidup kita. Berputar, berputar sampai akhirnya tutup botol itu bisa terbuka dan airnya bisa kita minum.

Begitu juga dengan keimanan Kristen kita, jangan dikit-dikit minta didoakan karena ada pergumulan. Dikit-dikit minta konseling dengan pendeta karena ada masalah. Coba kita mengubah paradigma kekristenan kita. Dari jemaat yang minta dilayani menjadi jemaat yang melayani. Dulu minta didoakan, sekarang jadi pendoa.

Kita harus belajar banyak dari seorang Daud. Bagaimana dia diproses Tuhan dari seorang pengantar makanan bagi kakak-kakaknya, kemudian menjadi pengembala sampai akhirnya menjadi pahlawan dalam mengalahkan Goliat. Daud nggek pernah mengeluh ketika Isai ayahnya memberi tugas mengantar makanan bagi kakak-kakanya.

Daud tak pernah mengeluh ketika semua saudaranya jadi tentara Israel, dia hanya menjadi gembala kambing domba. Daud melakukan semua itu dengan suka cita. Hingga akhirnya, Daud dipakai Tuhan jadi pahlawan dan jadi raja atas Israel. Kalau kita sudah bias melakukan semua tanggung jawab kita seperti Daud, maka percayalah Tuhan pasti akan membuat kita pada pada posisi the next level. Tuhan Yesus Memberkati. (TW)

No comments: