Nats : Matius 20 : 25
Seorang ahli filsuf politik Italia bernama Niccolo Machiavelli pernah menulis teori bahwa untuk dikagumi rakyat, seorang pemimpin harus membuat rakyatnya merasa takut padamu. Dalam teorinya itu, Machiavelli dikecam karena dianggap menghalalkan segala cara.
Dalam kehidupan nyata, banyak orang yang juga merasa bahwa kekerasan merupakan jawaban atas sebuah permasalahan, cerminan kekuatan sehingga orang merasa takut dan kemudian patuh kepada sang pemimpin. Para pemimpin cendrung bersikap arogan. Dan ironisnya ini tak hanya terjadi pada para pemimpin negara, swasta atau komunitas kecil, tapi sikap arogan dan sok kuasa ini juga merembes sampai skala kehidupan bergereja. Itu sebabnya di lingkungan gereja kemudian muncul friksi-friksi dan perpecahan.
Seringkali sikap kasar dipakai untuk menutupi kelemahan atau ketidakpercayaan diri seorang pemimpin. Mereka mengira dengan bersikap kasar mampu menutupi itu semua. Memang ada kalanya seorang pemimpin harus bertindak tegas, tetapi ingatlah bahwa tegas bukan berarti keras atau bahkan kasar sehingga menyakiti orang lain.
Banyak orang berpikir bahwa tegas itu berarti keras dan kasar. Mereka berpikir bahwa orang akan hormat dan takut apabila "kekuasaan" ditunjukkan secara ekstrim, seperti membentak, memasang muka seseram mungkin atau bahkan merendahkan orang lain agar terlihat hebat.
Lalu bagaimana dengan kita yang tergolong sebagai orang percaya?
Alkitab dengan tegas justru mengatakan sebaliknya. Konsep kehidupan dan bertingkah laku yang diajarkan Yesus sangatlah bertolak belakang dengan apa yang dipercaya dunia sebagai tolok ukur keberhasilan atau kesuksesan.
Yesus justru mengajarkan kepada kita bahwa pemerintah bangsa-bangsa memang memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tapi bagi siapa saja yang mau mengikuti-Nya, hal itu tidaklah boleh dilakukan. Karena Yesus mengajarkan bahwa jika kita ingin menjadi “besar” dan "terkemuka", hendaklah kita menjadi pelayan dan hamba.
Kata "Pemerintah bangsa-bangsa" ini dalam versi bahasa Inggrisnya dikatakan dengan "the rulers of the Gentiles", yang bisa diartikan sebagai para pemimpin dari bangsa yang tidak mengenal Allah. Mereka ini terus mengejar kepentingan dan kepuasan pribadi karena tidak mengetahui kebenaran. Posisi orang percaya seharusnya tak boleh seperti itu.
Dalam ungkapan ini Yesus tak hanya sekadar berkata-kata, tapi Yesus juga memberi contoh langsung mengenai sikap tersebut lewat sikap dan cara hidup-Nya ketika hadir di dunia. Sebagai pemimpin, Dia malah mencuci kaki murid-murid-Nya.
Ini jelas tidak dilakukan oleh para pemimpin dunia saat ini. Tapi Yesus seperti ingin membuktikan perkataan-Nya mengenai "Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar" dalam Lukas 9:48, bahwa diri-Nya tak hanya sekadar berceloteh soal ini, tapi Dia juga melakukannya.
Kalau kita simpulkan dari ucapan Yesus ini, berarti para pemimpin yang merasa dirinya sudah “besar” dan “berkuasa” justru merupakan orang-orang kecil di mata Allah. Jadi apabila hati dan pikiran kita sudah sampai kepada konsep seperti rules of gentiles, itu artinya kita sudah sangat jauh dari Tuhan.
So, jika hari ini kita masih menjadi pemimpin yang sok berkuasa, maka marilah kita mengubah sikap kita menjadi pemimpin yang berhati hamba seperti Yesus. (Andi DS)
No comments:
Post a Comment