Tuesday 12 April 2016

Semakin Beriman Semakin Merendah

Nats : Lukas 7 : 1 – 10

Banyak hamba-hamba Tuhan mengupas kisah ini sebagai sebuah pembelajaran mengenai iman kepada yang luar biasa kepada Yesus. Melalui kisah ini, Alkitab sedang memberi kita gambaran bahwa Yesus sebagai penolong yang diharapkan mau mengabulkan permohonan si perwira yang meminta kesembuhan bagi hambanya. Tak cuma menyembuhkan, Yesus juga memuji sikap perwira ini.

Kisah perwira Kapernaum ini adalah sebuah kisah yang menarik. Mengapa? Karena perwira Kapernaum ini jelas bukanlah seorang Yahudi. Para penafsir Alkitab memperkirakan dia adalah seorang pejabat Romawi jujur di bawah pemerintahan Kaisar Romawi Tiberius (14 – 37 Masehi).


Tak hanya pejabat terpandang, perwira ini juga pasti seorang yang kaya karena mampu memberikan sumbangan besar bagi pembangunan Bait Suci (lihat ayat 5). Sehingga tak heran, dia begitu punya pengaruh yang kuat di kalangan kaum Yahudi. Lukas mencatat bahwa perwira ini dapat mengutus para tua-tua Yahudi untuk menghadap Yesus dan meminta Dia menyembuhkan hambanya yang sakit. 

Tapi yang jadi pertanyaan mengapa Yesus begitu memuji iman si perwira Kapernaum? Melalui tulisan ini, kita akan coba belajar mengapa Yesus sangat memuji sang perwira dalam kisah ini.

Pertama, sebagai seorang non-Yahudi ternyata dia begitu taat melaksanakan segala hukum yang dijalankan oleh kaum Yahudi. Imannya pun tak hanya berhenti sampai di situ, karena ketika sang perwira mendengar kabar tentang Yesus, dia langsung percaya tanpa embel-embel (ayat 3). Iman tanpa embel-embel inilah yang dikagumi Yesus.

Coba kita bandingkan dengan kehidupan pribadi kita sebagai orang Kristen. Meski kita tahu dan mengenal Yesus, kita terkadang masih saja merasa ragu denganNya. Bahkan terkadang kita lebih suka menggunakan cara kita, dibandingkan dengan menggunakan cara Tuhan. Itu sebabnya banyak orang Kristen yang masih percaya pada paranormal ataupun mitos takhayul yang menyesatkan.

Kedua, sang perwira punya kasih yang luar biasa kepada hambanya yang sakit. Dia mau bersusah payah bagi kesembuhan “anak buahnya”. Ini sangat mirip dengan ajaran Yesus soal mengasihi. Yesus memberikan contoh bahwa mengasihi tak memandang suku, ras dan agama (SARA). Mengasihi harus dilakukan kepada semua orang (bandingkan dengan kisah Orang Samaria yang Baik Hati).

Kepedulian semacam ini sangatlah jarang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam kehidupan bergereja sekalipun. Terkadang kita acuh saja mendengar ada orang lain sedang mengalami kesulitan, atau bahkan kita terkadang pura-pura tidak mendengar masalah itu. Kita sering bersikap, itu bukan urusan gue. Biar aja dia menyelesaikan masalahnya sendiri.

Alasan ketiga yang merupakan alasan paling utama adalah bagaimana sang perwira mau merendahkan diri di hadapan Tuhan. Dia merasa bahwa dirinya tidak layak di hadapan Yesus, sehingga dia perlu mengutus beberapa orang tua-tua Yahudi kepada Kristus untuk menyampaikan masalahnya.

Si perwira mengutus tua-tua ini bukan karena dia merasa bahwa dirinya adalah seorang “pejabat terhormat” sehingga dia layak mengirim anak buahnya kepada Yesus. Tapi yang ada dalam pikirannya justru sebaliknya. Dia merasa sebagai orang non-Yahudi, dia tidak layak datang kepada “orang besar” seperti Yesus. Ia berpikir alangkah lebih menghormati Yesus jika yang mengundang Yesus adalah tua-tua Yahudi, yakni tokoh-tokoh yang terhormat dan menjadi kesukaan Tuhan.

Perwira itu semakin membuktikan kerendahan hatinya dengan cara melarang Yesus datang ke rumahnya. Karena dia berpandangan Yesus sangat kudus, sementara dirinya tidak. Dia merasa dirinya bukan siapa-siapa, meski secara kehidupan sosial dia tergolong sebagai orang terpandang. Dia begitu memandang tinggi sosok Yesus, meski dunia memandang hina sosok Yesus dengan mengatakan, "Tuan, janganlah bersusah-susah, sebab aku tidak layak menerima Tuan dalam rumahku; sebab itu aku juga menganggap diriku tidak layak untuk datang kepadaMu. Tetapi katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh (ayat 6-7)”.

Ini jelas berbeda dengan kehidupan nyata kita. Dalam kehidupan nyata, kita sudah sangat jarang melihat ada orang yang mau merendahkan diri untuk orang lain. Jangankan merendahkan diri untuk orang lain, untuk kepentingan dirinya sendiri saja kadang orang malas merendah.

Para bos atau pemilik perusahaan misalnya, mana mau mereka merendahkan dirinya untuk kepentingan pegawainya. Begitu juga dalam kehidupan para majikan terhadap pembantunya. Bagi mereka, “elo udah mending gua gaji, masa gue musti merendah demi kepentingan elo juga!”

Dalam kehidupan bergereja pun terkadang tak jauh berbeda. Jangankan merendahkan diri terhadap sesama, terhadap Tuhan saja kita terkadang menyombongkan kemampuan kita. Sehingga banyak orang yang sering menganggap tanpa dirinya pelayanan tak akan berjalan atau kalau bukan karena sumbangannya yang besar acara ini nggak bakal terwujud.

Tapi sekali lagi kita bisa melihat bahwa Yesus tidak pernah memandang orang karena kekayaan, kemampuan ataupun bentuk fisiknya. Yesus justru sangat memuji orang-orang yang mau merendahkan diri untuk datang kepadaNya. Coba bandingkan kisah ini dengan kisah perempuan Kanaan yang dianggap “anjing” oleh Tuhan (Matius 15 : 21-28).

Jadi kalau kita semakin beriman, maka sudah sewajibnya kita semakin merendahkan diri. Semakin diurapi seharusnya kita makin merasa tak layak di hadapanNya. Jadi kita harus seperti pepatah padi, semakin berisi semakin merunduk dan bukan sebaliknya. Tuhan Yesus Memberkati! (TW)

1 comment:

Unknown said...

Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)