Monday 28 March 2016

Yesus adalah Pintu

Nats : Yohanes 10 : 9

Dalam kehidupan nyata, kita semua pasti tahu apa fungsi dari pintu. Ada orang yang mengatakan bahwa pintu adalah sarana kita untuk masuk keluar rumah. Ada juga yang mengatakan pintu sebagai salah satu sarana untuk sirkulasi udara agar rumah tidak panas. Tapi tak sedikit yang bicara bahwa pintu sebagai penghias rumah alasannya tentu sebuah rumah tidak akan indah kalau tidak ada pintunya.


Ketika beberapa kali saya membaca ayat ini, saya selalu bertanya-tanya mengapa Yesus menggambarkan dirinya sebagai sebuah “pintu” dan bukan jendela atau atap rumah. Atau bisa saja Dia mengatakan diriNya sebagai rumah secara utuh.

Ini menjadi sebuah topik yang menarik, karena kalau kita baca kitab Yohanes 10 : 1 – 20 dalam konteks ini Yesus bicara diriNya adalah “pintu”. Dia sedang bicara soal sebuah perumpamaan tentang seorang gembala yang baik. Lalu apa hubungannya, seorang gembala yang baik dengan “pintu” ini?

Kalau kita bicara soal gembala, tentu “pintu” yang dimaksud dalam Yohanes 10 : 9 ini punya maksud yang dalam. Untuk menelusuri itu, kita tentu juga harus mempelajari kebiasaan-kebiasaan dari gembala-gembala di Israel pada masa Yesus bicara soal “pintu” ini.

Menurut beberapa literatur yang ada, gembala-gembala ternak (kambing-domba) di Israel punya kebiasaan mengembalakan ternaknya secara unik. Tak seperti gembala ternak saat ini yang sudah punya kandang permanen, tapi gembala di kala Yesus hidup biasa mengembalakan domba-dombanya secara nomaden alias berpindah-pindah dari satu padang gurun ke padang gurun yang lain.

Kalau mereka nomaden, lalu dimana domba-domba dan gembala itu tinggal? Kalau siang tentu mereka tetap berada di padang rumput untuk memberi makan ternaknya, tapi kalau malam para gembala Israel  biasanya menggiring kawanan dombanya masuk ke dalam goa-goa yang ada di sekitar padang gurun.

Mungkin kita kemudian bertanya, goa itu kan tidak ada pintunya? Jadi bagaimana mungkin kawanan ternak itu akan aman? Di sinilah letak pentingnya peranan gembala seperti yang Yesus bicarakan. Karena untuk menjaga domba-dombanya dari serangan binatang buas ataupun para pencuri, si gembala akan menjadi “ pengawal” bagi domba-dombanya.

Dia rela tidur di luar goa hanya demi domba-dombanya itu bebas dari serangan para pengganggu. Si gembala rela mengorbankan dirinya demi sang kawanan domba sama seperti Yesus juga rela mengorbankan nyawaNya di atas kayu salib demi domba-dombaNya.

Itu dalam konteks tradisi asli para gembala di kawasan Timur Tengah, lalu apakah ada maksud lain dari pernyataan Yesus sebagai “pintu” ini?

Kalau kita berkaca pada bahasa aslinya, yakni bahasa Ibrani, kata “pintu” yang dimaksudkan Yesus ternyata diambil dari kata thoo-rah atau thura yang punya arti pintu atau kesempatan. Kita tahu bahwa thura atau taurat adalah hukum yang diberikan Tuhan kepada bangsa Israel. Dalam konteks ini kemungkinan Yesus ingin bicara bahwa Dia adalah hukum yang sesungguhnya. Dia adalah hukum yang harus dipatuhi, bukan lagi hukum adat istiadat atau hukum tradisi-tradisi leluhur.

Kalau kita lihat dalam kehidupan kaum Israel di kala Yesus tinggal, ada banyak sekali aturan demi aturan yang harus dipatuhi biasanya hukum-hukum ini diatur oleh golongan imam seperti kaum Farisi dan SAduki. Kalau tidak dipatuhi, jelas kaum Yahudi akan dianggap kafir atau najis dan sebangsanya. Sehingga perintah yang mereka jalankan tak lagi murni dari Tuhan.

Melalui kesempatan itu, Yesus juga ingin menegaskan bahwa Dialah yang berhak untuk menentukan apakah seseorang bisa memperoleh bagian dalam Kerajaan Surga atau tidak. Sebagai pemilik surga hanya Dia yang berhak memilih orang-orang yang bisa mewarisi kerajaanNya. Makanya dalam konsep keselamatan Kristen dan Islam ada pernyataan yang jelas bahwa Yesus Kristus atau Isa Almasih adalah pengadil terakhir bagi umat manusia yang ada di dunia.

Di  ayat ini juga Yesus sedang bicara soal “kesempatan” apakah orang mau mempercayai diriNya sebagai gembala yang rela mengorbankan nyawa atau tidak? Kalau kita menolak, berarti jelas “pintu Kerajaan Surga” akan tertutup bagi kita selamanya. Tapi kalau kita mau menerima Dia lewat mulut (perkataan) dan hati kita, tentu “kesempatan” itu masih akan terbuka lebar.

Hal ini juga bisa kita lihat dari kata “masuk” yang digunakan yakni berasal dari kata Ibrani eiserchomai yang berarti masuk, akan masuk, hidup di antara atau berkumpul bersama. Dalam konteks ini Yesus seperti ingin menjelaskan bahwa jika kita hidup bersamaNya maka kita akan diselamatkan akan memperoleh padang rumput yang bisa kita artikan sebagai damai sejahtera dariNya.
Jadi masih ragukah kita bahwa Yesus adalah pintu agar bisa mendapat bagian di Kerajaan Surga? Tuhan Yesus memberkati!()

No comments: