Nats : Markus 8 : 4
Kalau ditanya tentang kisah Yesus memberi makan 5.000 orang, orang Kristen pastilah dengan fasih dapat menjelaskan kisah ini. Kita pasti akan menjabarkan secara rinci bahwa Yesus mampu melakukan sebuah mukjizat besar dengan memberi makan 5.000 orang hanya dengan lima roti dan dua ikan, lengkap dengan sisanya yang 12 keranjang.
Bahkan banyak Teolog yang menafsirkan angka 5.000 itu cuma mencatat jumlah kaum lelaki saja yang dihitung, sementara anak dan isterinya belum terhitung. Jadi para penafsir ini memperkirakan bahwa yang diberi makan Yesus lebih dari 15.000 orang.
Lalu bagaimana dengan kisah Yesus memberi makan 4.000 orang di Daerah Dekapolis, dekat Danau Galilea? Pada saat itu Yesus tergerak hatinya untuk memberi makan 4.000 orang yang mengikuti Dia hingga ke daerah ini. Kisah ini adalah kisah yang berbeda dengan kisah Yesus memberi makan 5.000 orang, walaupun dalam konteks yang hampir mirip.
Tapi kalau kita telusuri, kita bisa menyimpulkan bahwa kedua peristiwa ini terjadi dalam waktu yang tidak terlampau lama. Dalam kitab Markus, peristiwa Yesus memberi makan 5.000 orang ada di Markus 6, sementara peristiwa Yesus memberi makan 4.000 orang ini ada di Markus 8. Begitu juga dalam Injil Matius, kisah Yesus memberi makan 5.000 orang terdapat dalam Matius 14 dan kisah Yesus memberi makan 4.000 orang terdapat di pasal 15. Jadi memang jaraknya tidak beberapa lama.
Apa yang menarik dari kedua kisah ini? Adakah benang merah yang dapat kita ambil dari dua kisah ini?
Ternyata dalam kisah Yesus memberi makan 4.000 orang ini, kita masih melihat adanya “ketidakpercayaan” murid-murid Yesus terhadap Sang Guru. Coba kita lihat Markus 8 : 4 yang berbunyi, ”Murid-muridNya menjawab : Bagaimana di tempat yang sunyi ini orang dapat memberi mereka roti sampai kenyang?” (bandingkan dengan Markus 6 : 35 -36). Di sini terlihat bahwa sikap para murid masih sama saja seperti di kisah sebelumnya.
Padahal kita bisa melihat bagaimana mereka baru saja melihat Yesus memberi makan 5.000 orang dengan lima roti dan dua ikan. Sebagai murid Yesus, mungkin hampir setiap hari mereka melihat mukjizat yang dilakukan Yesus. Dari mengubah air menjadi anggur, menyembuhkan orang sakit, sampai membangkitkan orang mati. Jadi mukjizat jelas bukan hal asing bagi mereka, tapi toh mereka tetap tak percaya.
Maka tak heran kalau Yesus kerap merasa kesal pada para murid dan mengkritik mereka dengan keras. Seperti Yesus menegur Petrus dalam kitab Matius 14: 31 dengan mengatakan “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?”.
Kebimbangan memang kerap menjadi “musuh paling utama” kita sebagai pengikut Yesus. Di dalam kehidupan nyata, kita banyak melihat karya Tuhan. Bahkan kalau ditanya apakah Tuhan berkarya dalam hidup kita, tentu kita tanpa ragu akan bilang “Yes!”. Namun nyatanya, “ketidakpercayaan” masih sering hadir dalam hidup kita.
Kita kerap merasa bingung dengan keadaan yang kita hadapi. Kita khawatir menatap hari esok, padahal Tuhan sudah berjanji bahwa burung-burung di udara yang tak pernah menabur dan menuai saja, Dia pelihara. Keindahan bunga bakung yang tak terawat saja, bisa mengalahkan keindahan pakaian Salomo.
Tapi jujur, terkadang orang-orang yang tahu mengenai Yesus, belum tentu mengenal Yesus dengan baik. Orang-orang yang tahu “kedasyatan Yesus”, malah terkadang hidupnya jauh dari Yesus seperti para murid yang mengalami “kebebalan rohani”.
Kita terkadang mau hidup dengan pimpinan diri sendiri, tanpa pernah mau mengalami pimpinan Tuhan. Kita kerap mengandalkan kekuatan kita, dibandingkan mengandalkan Tuhan dalam sikap dan tingkah laku kita. Sehingga akhirnya kita mengalami yang namanya kebodohan secara rohani.
Mungkin apa yang kita lakukan mirip seperti kisah tukang sayur yang menumpang sebuah truk. Dalam kisah ini diceritakan ada seorang tukang sayur yang sudah kelelahan karena berjalan sangat jauh. Dia pun duduk lemas di pinggiran jalan. Tiba-tiba sebuah truk melintas dan mengajaknya naik ke truk karena arah dan tujuan mereka sama.
Dengan gembira si tukang sayur naik truk itu sambil terus menggotong pikulannya yang berat. Tiba-tiba si sopir yang melihat kejadian itu menghentikan mobilnya dan menegur si tukang sayur. “Mang, pikulannya ditaruh saja, lalu Mamang bisa menikmati perjalanan ini dengan santai. Mengapa semua beban itu terus Mamang pikul, padahal ada truk ini yang telah memperingan beban Mamang!” kata si sopir truk. Tukang sayur itu baru sadar bahwa ada “penolong” yang sedang meringankan bebannya. Dia sadar bahwa dia telah melakukan “kebebalan” dalam hidupnya.
Begitu juga dengan kita, kita juga sadar bahwa ada Yesus yang selalu menjadi “penolong setia” buat kita. Tapi yang kita sering lupa dan melakukan kebebalan seperti si tukang sayur. Kita terus memegangi beban kita, padahal sudah ada Yesus yang membantu kita melepaskan beban itu. Tuhan Yesus Memberkati.(TW)
No comments:
Post a Comment